Selasa, 12 Oktober 2010

Tidak Ada Alasan Untuk Menyerah







Ya benar, tidak ada alasan untuk menyerah. Yang dimaksud menyerah bukan hanya menyerah saat kita mendapatkan kesulitan saja, tetapi menyerah menggapai apa yang kita cita-citakan. Banyak orang, yang ingin mencapai sesuatu, memiliki sesuatu, dan melakukan sesuatu, kemudian dia berhenti karena merasa tidak sanggup, itu pun sama dengan menyerah.

Begitu juga, saat kita sedang menghadapi masalah besar. Tidak ada alasan untuk menyerah. Tidak ada alasan untuk tetap terpaku dan tidak peduli apa yang akan terjadi.

Silahkan lanjutkan membaca, akan saya tunjukan bahwa tidak ada alasan untuk menyerah.

Tidak Perlu Menyerah: Karena Kita Pasti Sanggup
Sebesar apa pun masalah yang menimpa kita, insya Allah kita akan sanggup, sebab Allah tidak akan membebani kita di luar kesanggupan kita.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al Baqarah:286)

Saat kita melihat masalah begitu besarnya, itu artinya ada yang salah dengan diri kita. Tetaplah berlajar, bertanya, dan mintalah bantuan. Meminta bantuan tidak mengapa, yang penting jangan terus menggantungkan diri kepada orang lain.

Mengapa Menyerah? Bukankah Allah Mahakuasa?
Sebesar apa pun masalah kita. Sebesar apa pun tujuan kita. Semua kecil bagi Allah. Mengapa kita tidak meminta tolong kepada Allah? Banyak cara untuk mendapatkan pertolongan Allah:

Berdo’a
Tiada seorang berdo’a kepada Allah dengan suatu do’a, kecuali dikabulkanNya, dan dia memperoleh salah satu dari tiga hal, yaitu dipercepat terkabulnya baginya di dunia, disimpan (ditabung) untuknya sampai di akhirat, atau diganti dengan mencegahnya dari musibah (bencana) yang serupa. (HR. Ath-Thabrani)

Sabar dan Shalat
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. (QS Al Baqarah: 45)

Menolong Agama Allah
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad:7)

Dan masih banyak yang lainnya. Silahkan buka Al Quran dan Hadits, dimana kita bisa membaca bahwa Allah membuka lebar pintu pertolongan bagi hamba-Nya.

Tidak Perlu Menyerah: Mengatasi Masalah Dengan Apa Yang Ada
Apa pun yang Anda miliki saat ini, sudah cukup dan bisa dijadikan modal untuk mengatasi masalah Anda dan mencapai tujuan Anda. Selengkapnya bisa dibaca pada artikel Mengatasi Masalah Dengan Apa Yang Ada.

Tidak Perlu Menyerah: Itu Ujian Dari Allah
Semua kesulitan itu adalah ujian dari Allah. Selanjutnya, apakah kita mau bersabar atau menyerah? Jika kita bersabar dan ikhlas, insya Allah semuanya tidak akan sia-sia. Sebaliknya jika kita menyerah atau berputus asa, kita akan berdosa.

Barangsiapa diuji lalu bersabar, diberi lalu bersyukur, dizalimi lalu memaafkan dan menzalimi lalu beristighfar maka bagi mereka keselamatan dan mereka tergolong orang-orang yang memperoleh hidayah. (HR. Al-Baihaqi)

Apa yang dibahas disini hanya baru sebagian kecil dari alasan agar tidak menyerah. Masih banyak lagi yang lainnya. Dari yang sedikit ini saja, insya Allah kita bisa melihat bahwa bagi kita orang yang beriman dan masih mau berusaha, tidak ada alasan untuk menyerah.

Minggu, 10 Oktober 2010

Al Quran: Sumber Utama Inspirasi

Orang yang pasti tidak nyaman dalam keluarga, orang yang pasti tidak
tentram dalam bertetangga, orang yang pasti tidak nikmat dalam bekerja
adalah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati
penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria, penuh kedengkian,
kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni
kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yang
berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang suasana hidup
tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati lapang
tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau
hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.

Salah satu yang harus dilakukan agar seseorang terampil bening hati
adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab, istri
kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat salah, tetangga kita akan
berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah, atasan di kantor kita
akan berbuat salah karena memang mereka bukan malaikat. Namun sebenarnya
yang jadi masalah bukan hanya kesalahannya, yang jadi masalah adalah
bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.

Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, tekniknya adalah tanya pada
diri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita
ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat berharap agar orang lain tidak
murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu
kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa
bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin
orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum.
Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan
adil dan penuh etika. Kita ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kita juga ingin disemangati agar bisa berubah. Nah, kalau
keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain
berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi,
bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!

Ah, Sahabat. Seharusnya ketika ada orang lain berbuat salah, apalagi
posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita lakukan adalah
dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya,
kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk
dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam skala apapun, kita
harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin kualitas
pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin
yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.

Oleh karena itu, andaikata ada orang melakukan kesalahan, maka sikap
mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang berbuat salah ini tahu
atau tidak bahwa dirinya salah ? Kenapa ada orang yang berbuat salah dan
dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan.
Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari desa yang dibawa ke kota
untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama
bekerja, dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di
kamar mandi, toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang
percuma, mengapa ? Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada
yang pakai kran, di desanya tidak ada aturan penghematan air, di desanya
juga tidak ada kewajiban membayar biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di
desanya air masih begitu melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat
pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang
berbuat salah, tanya dululah, dia tahu tidak bahwa ini sebuah kesalahan.
Lalu, kalau dia belum tahu kesalahannya, maka kita harus memberi tahu,
bukannya malah memarahi, memaki, dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin
kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, seperti halnya,
bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai
perilaku orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah ada pembantu yang
umurnya baru 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya.
Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas kita, sama
kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah rentang
ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu
panjang pula yang kita lalui.

Sebuah pengalaman, dulu ketika pulang sehabis diopname beberapa hari
di rumah sakit karena diuji dengan sakit. Saat tiba di rumah, ada kabar
tidak enak, yaitu omzet toko milik pesantren menurun drastis! Meledaklah
kemarahan, "Kenapa ini santri bekerja kok enggak sungguh-sungguh ? Lihat
akibatnya, kita semua jadi rugi! Pimpinan sakit harusnya berjuang
mati-matian!".

Tapi alhamdulillah, istri mengingatkan, "Sekarang ini Aa umur 32
tahun, santri yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana
mungkin kita mengharapkan orang lain melakukan seperti apa yang mampu kita
lakukan saat ini, sementara dia ilmunya, kemampuannya, dan juga
pengalamannya masih terbatas?! Mungkin dia sudah melakukan yang terbaik
untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa jadi
ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita belum mampu untuk jaga toko".

Subhanallah, pertolongan ALLAH datang dari mana saja. Oleh karena
itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah dia ini
tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh dia
belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya, "De',
ini salah, harusnya begini".

Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat salah dari
tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya. Selalu
kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.

Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya,
karena ada orang yang tahi itu suatu masalah, tapi dia tidak tahu harus
bagaimana menyelesaikannya? Maka, posisi kita adalah membantu orang yang
berbuat salah mengetahui jalan keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu
zaman pesantren masih sederhana, ketika masih berupa kost-kostan mahasiswa,
muncul suata masalah di kamar paling pojok yang dihuni seorang santri
mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun, "Wah, ini massalah
nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi".

Dia tahu ini masalah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
Kita harus bantu, tapi bantuan kita yang paling bagus adalah bukan
menyelesaikan masalah, tapi membantu dia supaya bisa menyelesaikan
masalahnya. Sebab, bantuan itu ada yang langsung menyelesaikan masalah,
namun kelemahan bantuan ini, yaitu ketika kita membantu orang dan kita
menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus, ia akan punya
ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita akan
membunuh kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Bantuan yang
terbaik adalah memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.

Dan tahap yang ketiga adalah membantu orang yang berbuat salah agar
tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih
menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan,
karena apa?

Karena anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah
bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah
kebersamaan kita, kenapa kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar
kejelekan, ngomongin kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan
aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu, apa yang berharga pada diri kita ?
Padahal, justru kalau kita melihat orang lain salah, maka posisi kita
adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.

Nah, Sahabat. Selalulah yang kita lakukan adalah berusaha membantu
agar orang yang berbuat salah mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah
suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah agar ia tahu bagaimana
cara memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat salah agar
tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya.

Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu dengan
mengingatkan dia tentang pentingnnya shalat, membantu mengajarinya tata
cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya dia tetap
bersemangat untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat pemabuk,
justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk,
membantu mengenal bagaimana cara menghentikan aktivitas mabuk.
Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu.
Walhasil, orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu untuk membantu
memperbaiki kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci kepada
siapapun.

Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa meremehkan,
mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan
kita pun sebenarnya gudang kesalahan.
QS. ALI 'IMRAN :26
Katakanlah:"Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari
orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di
tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.

DOWNLOAD GRATIS EBOOK DAN SOFTWARE ISLAM

http://www.zainpembebas.co.cc/2010/07/download-gratis-ebook-islam-dan.html

SAATNYA MEMBERI

“Adalah Rasulullah saw. lebih pemurah dari semua orang. Terlebih di bulan Ramadhan, di mana Jibril sering mengunjungi beliau untuk tadarus Quran. Saat itu, Rasulullah saw. teramat sangat pemurah, melebihi angin yang terlepas.” (Bukhari Muslim, kesaksian Ibnu Abbas r.a.)

Memberi tidak selalu menunggu permintaan

Biasanya, sebuah pemberian muncul setelah adanya ungkapan permintaan. Inilah kadar pemberian yang umum. Sebuah pemberian yang biasa terjadi di masyarakat kebanyakan.

Namun, akan beda nilainya jika pemberian justru lahir sama sekali tidak dari permintaan. Ia muncul sebagai perwujudan cinta yang digiring melalui kepekaan tinggi. Pemberian model ini, mungkin tergolong jarang. Tanpa diminta, pemberian sudah mendahului. Bahkan, sama sekali tak pernah terpikir oleh si peminta.

Itulah yang pernah terjadi di generasi para sahabat Rasul. Seorang sahabat Anshar pernah menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin Auf. Bahkan, ia siap menceraikan salah seorang isterinya untuk kelak dinikahkan kepada Abdurrahman bin Auf.

Sepertinya si sahabat Anshar menangkap sesuatu yang kurang dari sahabatnya yang ‘terusir’ dari Madinah itu. Kasihan Abdurrahman, ia meninggalkan segala-galanya di Mekah demi menunaikan perintah Rasul untuk berhijrah. Begitulah mungkin yang sempat terpikir sahabat Anshar. Tanpa menunggu diminta, ia langsung menawarkan. Sayangnya, penawarannya yang tulus ditolak Abdurrahman. Sahabat Muhajirin ini tidak mau merepotkan tuan rumah. Ia cuma menanyakan letak pasar, agar bisa berdagang.

Dalam akhlak Islam, ada yang namanya ‘iffah: tidak meminta-minta walaupun butuh, demi menjaga kehormatan. Akhlak ini begitu mulia. Sayangnya, tidak banyak yang menyambutnya dengan sifat bersegera memberi, walaupun tidak meminta. Sifat ‘iffah tentu punya niat ikhlas mengharap balasan dari Allah. Alangkah indahnya ‘iffah jika disambut dengan itsar, memberi dengan nilai tertinggi. Seperti yang dicontohkan sahabat Anshar dan Abdurrahman bin Auf.

Pemberian terbalas dengan pemberian yang lebih berharga

Dalam keseharian, kerap Allah membuktikan janjiNya dengan cara sederhana. Sebuah pemberian yang tulus, akan terbalas dengan pemberian yang lebih bernilai. Bahkan berlipat kali.

Ketika kendaraan yang kita setir berpapasan dengan kendaraan lain, keikhlasan membimbing kita untuk memberi jalan. “Silakan!” ucapan itu spontan keluar melalui sebuah isyarat. Hinakah kita karena mempersilakan orang lain jalan lebih dulu? Justru, sebaliknya. Pengendara lain serta-merta mengangkat tangan, tanda penghormatan yang juga spontan.

Juga, hinakah kita ketika terlebih dulu memberi salam kepada saudara kita. Justru, yang kita dapatkan lebih baik dari yang kita beri. Bukan sekadar jawaban salam yang menyambut, senyum dan lambaian tangan pun melengkapi.

Begitu pun nilai sebuah pemberian di sisi Allah swt. Infak yang keluar dari kantong seorang mukmin, diumpamakan seperti benih. Dari benih itu menjadi pohon kebaikan yang tumbuh besar dan akhirnya berbuah.

Maha Benar Allah swt. dalam firman-Nya di surah Al-Baqarah ayat 261, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Tanpa meminta pun, manusia selalu meminta

Kehidupan manusia tak pernah luput dari yang namanya meminta. Sadar atau tidak, kita membutuhkan orang lain untuk memberi sesuatu yang kita butuhkan. Begitulah kehidupan bergulir.

Sejak lahir, seorang anak manusia meminta banyak dari ibunya. Mulai dari makanan, minuman, perlindungan, dan belaian kasih sayang. Ungkapan memintanya pun tidak mengenakkan: menangis. Itulah bahasa meminta pertama manusia.

Mungkin, inilah tabiat dasar manusia: selalu meminta. Mulai lahir, masa anak-anak, dewasa, dan akhirnya tua. Lagi-lagi, manusia meminta. Bahkan di akhir hayat pun tangis mengungkapkan bahasa asalnya ketika lahir: meminta. Manusia menangis karena merasa tidak mampu mengurus dirinya sendiri, menjaga isteri, dan membiayai anak-anak. Ia menangis sebagai ungkapan meminta ke orang lain.

Kalau suasana alami saja manusia sudah sering meminta, kenapa harus dibiasakan untuk meminta secara sengaja. Meminta dan meminta.

Kikir tak pernah menguntungkan

Logika sederhana kerap mengatakan, semakin kecil pengeluaran akan memperbesar pemasukan. Kian jarang memberi, simpanan semakin mapan. Itulah mungkin bimbingan nalar yang menjadikan orang enggan memberi.

Benarkah seperti itu? Dari hitungan materi, mungkin nalar itu benar. Tapi, bukankah kehidupan tidak melulu materi. Bukankah kebahagian, kesedihan, dan kekecewaan kadang tidak berhubungan dengan materi. Ada bagian lain dalam diri manusia yang tidak bisa disentuh materi. Itulah kepuasan hati. Tak satu harga pun yang bisa membeli kepuasan hati. Jutaan, bahkan milyaran rupiah terbuang percuma karena kepuasan hati tak kunjung datang.

Bersyukurlah mereka yang Allah cabut dalam hatinya rasa kikir. Setiap kali ia memberi, saat itu juga ada kepuasan terlahir. Puas dan bahagia bisa meringankan beban orang lain. Puas menatap senyum orang-orang yang membutuhkan.

Allah swt. berfirman, “…Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Sumber: Dakwatuna.com

Roda Kehidupan

Pada suatu hari sepasang suami istri sedang makan bersama di rumahnya.Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk seorang pengemis. Melihat keadaan si pengemis itu, si istri merasa terharu dan dia bermaksud hendak memberikan sesuatu. Tetapi sebelumnya, sebagai seorang wanita yang sholihat dan patuh pada kepada suaminya, dia meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya,

“Wahai suamiku, bolehkah aku memberi makanan kepada pengemis itu?”

Rupanya suaminya memiliki karakter yang berbeda dengan wanita itu. Dengan suara lantang dan kasar menjawab,

“Tidak usah! Usir saja dia, dan tutup kembali pintunya!” Si wanita terpaksa tidak memberikan apa-apa kepada pengemis tadi sehingga dia berlalu dan kecewa.

Pada suatu hari yang naas perdagangan lelaki ini jatuh bangkrut.Kekayaannya habis dan ia menderita banyak hutang. Selain itu, karena ketidakcocokan sifat dengan istrinya, rumah tangganya menjadi berantakan sehingga terjadilah perceraian. Tak lama sesudah habis masa iddahnya bekas istri lelaki yang pailit itu menikah lagi dengan seorang pedagang di kota dan hidup berbahagia.

Pada suatu hari ketika wanita itu sedang makan dengan suaminya (yang baru), tiba-tiba ia mendengar pintu rumahnya diketuk orang. Setelah pintunya dibuka ternyata tamu tak diundang itu adalah seorang pengemis yang sangat mengharukan hati wanita itu. Maka wanita itu berkata kepada suaminya,

“Wahai suamiku, bolehkah aku memberikan sesuatu kepada pengemis ini?” Suaminya menjawab, “Berikan makan pengemis itu!”.

Setelah memberi makanan kepada pengemis itu istrinya masuk ke dalam rumah sambil menangis. Suaminya dengan perasaan heran bertanya kepadanya,

“Mengapa engkau menangis? Apakah engkau menangis karena aku menyuruhmu memberikan daging ayam kepada pengemis itu?”. Wanita itu menggeleng halus, lalu berkata dengan nada sedih,

“Wahai suamiku, aku sedih dengan perjalanan taqdir yang sungguh menakjubkan hatiku. Tahukah engkau siapa pengemis yang ada di luar itu? Dia adalah suamiku yang pertama dulu”. Mendengar keterangan istrinya demikian, sang suami sedikit terkejut, tapi segera ia balik bertanya,

“Dan engkau, tahukah engkau siapa aku yang kini menjadi suamimu ini? Aku adalah pengemis yang dulu diusirnya!”.

Benang Merah:
Di dunia ini tidak ada yang abadi, dunia bagaikan roda berputar, ada kalanya di atas ada kalanya juga di bawah jadi kalau lagi di atas jangan sombong dan takabur, memandang rendah orang lain yang nasibnya tidak beruntung karena bisa saja nasib berubah dan kita yang dulunya berpunya dan berkuasa kini harus di bawah.

Buat yang sedang di bawah pun harus tetap semangat, jangan cuma mengeluh pasrah karena Tuhan tidak akan merubah keadaan umatNya jika mereka tidak mau berusaha dan hanya bermalas-malasan saja

POHON dan MANUSIA PARIPURNA

Sebatang pohon yang baik pasti memiliki bagian-bagian utuh mulai dari akar, batang, dahan, ranting, daun dan buah. Setiap bagian memiliki fungsi dan peran masing-masing tanpa adanya keinginan untuk pindah keluar fungsi dan perannya. Masing-masing memiliki manfaat, dan tidak bisa dicerai beraikan, hanya bisa dinamakan. Keutuhan dari semuanya adalah POHON. Pohonlah yang menjadi Kenyataan Utuh. Tidaklah timbul yang namanya buah bilamana bagian lain tidak sehat atau tidak ada. Tidaklah adanya ranting dan daun bilamana tidak adanya batang, demikian juga batang, tidak akan ada bilamana tidak adanya AKAR.

Begitulah iktibar kesempurnaan sebatang pohon. Sama hal-nya dengan manusia, masyarakat dan negara. Berlakulah sesuai kapasitas dan fungsi masing-masing, Insya Allah akan menjadi keutuhan yang UTUH, yang memberi manfaat perlindungan, keselamatan dan lain sebagainya.
Maha Suci Allah dari segala perumpamaan.

Jumat, 08 Oktober 2010

PENGERTIAN ROBB DALAM AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH

Kitab Tauhid 1oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan

Rabb adalah bentuk mashdar, yang ber arti "mengembang kan sesuatu dari satu keadaan pada keadaan lain, sampai pada keadaan yang sempurna". Jadi Rabb adalah kata mashdar yang dipinjam untuk fa'il (pelaku). Kata-kata Ar-Rabb tidak disebut sendirian, kecuali untuk Allah yang menjamin kemaslahatan seluruh makhluk.

Adapun jika di-idhafah-kan (ditambahkan kepada yang lain), maka hal itu bisa untuk Allah dan bisa untuk lainNya. Seperti firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Rabb semesta alam." (Al-Fatihah: 2)Juga firmanNya: "Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang da hulu". (Asy-Syu'ara: 26)

Dan di antaranya lagi adalah perkataan Nabi Yusuf Alaihissalam yang difirmankan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu." Maka syaitan men jadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya." (Yusuf: 42)Dan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Kembalilah kepada tuanmu ..." (Yusuf: 50)"Adapun salah seorang di antara kamu berdua, akan memberi minum tuannya dengan khamar ..." (Yusuf: 41)

NB:MOHON DICOPAS DAN SEBARKAN

Rasulullah bersabda dalam hadits "Unta yang hilang": "Sampai sang pemilik menemukannya". Maka jelaslah bahwa kata Rabb diperuntukkan untuk Allah jika ma'rifat dan mudhaf, sehingga kita mengatakan misalnya: "Tuhan Allah Penguasa semesta alam" atau "Tuhan manusia".

Dan tidak diperuntukkan kepada selain Allah kecuali jika di-idhafah-kan, misalnya: tuan rumah atau pemilik unta dan lainnya. Makna "Rabbal 'alamiin" adalah Allah Pencipta alam semesta, Pemilik, Pengurus dan Pembimbing mereka dengan segala nikmat-Nya, serta dengan mengutus para rasulNya, menurunkan kitab-kitab-Nya dan Pemberi balasan atas segala perbuatan makhlukNya.

Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa konsekuensi rububiyah ada lah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang ber buat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejaha tannya. [1]

Pengertian Rabb Menurut Pandangan Umat-Umat Yang SesatAllah Subhannahu wa Ta'ala menciptakan manusia dengan fitrah mengakui tauhid serta mengetahui Rabb Sang Pencipta. Firman Allah: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia ti dak mengetahui." (Ar-Rum: 30)

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (Al-A'raf: 172)

Jadi mengakui rububiyah Allah dan menerimanya adalah sesuatu yang fitri. Sedangkan syirik adalah unsur yang datang kemudian. Baginda Rasul bersabda: "Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tu a-nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Seandainya seorang manusia diasingkan dan dibiarkan fitrahnya, pasti ia akan mengarah kepada tauhid yang dibawa oleh para rasul, yang disebutkan oleh kitab-kitab suci dan ditunjukkan oleh alam. Akan tetapi bimbingan yang menyimpang dan lingkungan yang atheis itulah faktor penyebab yang mengubah pandangan si bayi. Dari sanalah seorang anak manusia mengikuti bapaknya dalam kesesatan dan penyimpangan.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi: "Aku ciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka." (HR. Muslim dan Ahmad)

Maksudnya, memalingkan mereka kepada berhala-berhala dan menjadikan mereka itu sebagai tuhan selain Allah. Maka mereka jatuh dalam kesesatan, keterasingan, perpecahan dan perbedaan; karena masing-masing kelompok memiliki tuhan sendiri-sendiri. Sebab, ketika mereka berpaling dari Tuhan yang hak, maka mereka akan jatuh ke dalam tuhan-tuhan palsu.

Sebagaimana firman Allah: "Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan ke sesatan." (Yunus: 32)

Kesesatan itu tidak memiliki batas dan tepi. Dan itu pasti terjadi pada diri orang-orang yang berpaling dari Allah Subhannahu wa Ta'ala . FirmanNya: "... manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu." (Yusuf: 39-40)

Dan syirik dalam tauhid rububiyah, yakni dengan menetapkan adanya dua pencipta yang serupa dalam sifat dan perbuatannya, adalah mustahil. Akan tetapi sebagian kaum musyrikin meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka memiliki sebagian kekuasaan dalam alam semesta ini. Setan telah mempermainkan mereka dalam menyembah tuhan-tuhan tersebut, dan setan mempermainkan setiap kelompok manusia berdasarkan kemampuan akal mereka.Ada sekelompok orang yang diajak untuk menyembah orang-orang yang sudah mati dengan jalan membuat patung-patung mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh Alaihissalam. Ada pula sekelompok lain yang membuat berhala-berhala dalam bentuk planet-planet. Mereka menganggap planet-planet itu mempunyai pengaruh terhadap alam semesta dan isinya.

Maka mereka membuatkan rumah-rumah untuknya serta memasang juru kuncinya. Mereka pun berselisih pandang tentang penyembahannya; ada yang menyembah matahari, ada yang menyembah bulan dan ada pula yang menyembah planet-planet lain, sampai mereka membuat piramida-piramida, dan masing-masing planet ada piramidanya sendiri-sendiri. Ada pula golongan yang menyembah api, yaitu kaum Majusi.

Juga ada kaum yang menyembah sapi, seperti yang ada di India; ke lompok yang menyembah malaikat, kelompok yang menyembah po hon-pohon dan batu besar. Juga ada yang menyembah makam atau kuburan yang dikeramatkan. Semua ini penyebabnya karena mereka membayangkan dan menggambarkan benda-benda tersebut mempunyai sebagian dari sifat-sifat rububiyah. Ada pula yang menganggap berhala-berhala itu mewakili hal-hal yang ghaib.

Imam Ibnul Qayyim berpendapat: "Pembuatan berhala pada mulanya adalah penggambaran ter hadap tuhan yang ghaib, lalu mereka membuat patung berdasarkan bentuk dan rupanya agar bisa menjadi wakilnya serta mengganti kedudukannya. Kalau tidak begitu, maka sesungguhnya setiap orang yang berakal tidak mungkin akan memahat patung dengan tangannya sendiri kemudian meyakini dan mengatakan bahwa patung pahatannya sendiri itu adalah tuhan sembahannya." [2]

Begitu pula para penyembah kuburan, baik dahulu maupun sekarang, mereka mengira orang-orang mati itu dapat membantu mereka, juga dapat menjadi perantara antara mereka dengan Allah dalam pemenuhan hajat-hajat mereka. Mereka mengatakan: "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (Az-Zumar: 3)

"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa'atan, dan mereka berkata: 'Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah'." (Yunus: 18)

Sebagaimana halnya sebagian kaum musyrikin Arab dan Nasrani mengira tuhan-tuhan mereka adalah anak-anak Allah. Kaum musyrikin Arab menganggap malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Orang Nasrani menyembah Isa Alaihissalam atas dasar anggapan ia sebagai anak laki-laki Allah.

Sanggahan Terhadap Pandangan Yang Batil Di Atas Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menyanggah pandangan-pandangan tersebut:a. Sanggahan terhadap para penyembah berhala:"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengang gap Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?" (An-Najm: 19-20)

Tafsir ayat tersebut menurut Imam Al-Qurthubi, "Sudahkah eng kau perhatikan baik-baik tuhan-tuhan ini. Apakah mereka bisa men datangkan manfaat atau madharat, sehingga mereka itu dijadikan se bagai sekutu-sekutu Allah?"

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: 'Apakah yang kamu sem bah?' Mereka menjawab: 'Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya'. Berkata Ibrahim: 'Apa kah berhala-berhala itu mendengar (do'a) mu sewaktu kamu berdo'a (kepadanya)? atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?" Mereka men jawab: '(Bukan karena itu) sebenarnya Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian'." (Asy-Syu'ara: 69-74)

Mereka sepakat, berhala-berhala itu tidak bisa mendengar permo honan, tidak bisa mendatangkan manfaat dan madharat. Akan tetapi mereka menyembahnya karena taklid buta kepada nenek moyang mereka. Sedangkan taklid adalah hujjah yang batil.

b. Sanggahan terhadap penyembah matahari, bulan dan bintang.Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bin tang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya." (Al-A'raf: 54)

"Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah." (Fushshilat: 37)

c. Sanggahan terhadap penyembah malaikat dan Nabi Isa atas dasar anggapan sebagai anak Allah.Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, ..." (Al-Mu'minun: 91)"Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempun yai isteri." (Al-An'am: 101)"Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas: 3-4)

[1] Lihat Madarijus Salikin, I, hal. 68.[2] Ighatsatul Lahfan, II, hal. 220