Rabu, 25 Agustus 2010

Laila & Majnun (Novel Epos Nizami)
Post by pecinta on Oct 24, 2007, 7:43am

Alkisah, Kepala suku Bani Umar di Arab memiIiki segala
macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal, bahwa
ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu
menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi
tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak
berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua
bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon
kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka
berdua. "Mengapa tidak?" jawab sang kepala suku. "Kita
telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba
sekali lagi, tak ada ruginya."

Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air
mata dari relung hati mereka yang terluka. "Wahai
Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah.
Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam
pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab
untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan
kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan
anak kami."

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan
menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang
diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab
Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata
besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat
perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telah
memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik
istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari
seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair
dan melukis.

Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya
memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan
guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana, dan
hanya beberapa anak saja yang belajar di situ.
Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang
di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.

Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari
kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah,
yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan
matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka
menyebutnya Laila-"Sang Malam". Meski ia baru berusia
dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk
dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di
zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang
masih sangat muda, yakni sembilan tahun.

Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari
pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik
satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu,
percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta
yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi
tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka
saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka
saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis
pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di
atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau
kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan
Laila.

Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi
sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka,
dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman
itu, tidaklah pantas seorang gadis d**enal sebagai
sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak
akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar
bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun
melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi
menahan beban malu pada masyarakat sekitar.

Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi
sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan
menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya
dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair
untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya
berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab
pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya
tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata,
"Lihatlah Qais, ia sekarang telah menjadi seorang
majnun, gila!"

Akhirnya, Qais d**enal dengan nama ini, yakni
“Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka
berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin
melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu
bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah,
yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila
dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai
Majnun.

Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat
desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya
yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun
duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil
berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia
berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga
liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan
menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa
burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada
Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.

Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa
Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang
berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan
merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci,
menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya
anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala
sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi
dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

(page 1) continue....

Re: Laila & Majnun (Novel Epos Nizhami)
Post by pecinta on Oct 24, 2007, 7:47am

Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan
jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar
sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa
melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di
sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia
berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang
betapa ia sangat kehilangan dirinya.

Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang
datang mengunjunginya demikian terharu oleh
penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka
bertekad membantunya untuk berjumpa kembali dengan
Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka
dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar
sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati
wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil
masuk ke pintu kamarnya.

Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di
luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah,
Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais.
Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar
burung-burung berkicau dari jendela atau angin
berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari
membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya.
Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh
angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal
dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada
siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat
terbaiknya, tentang cintanya.

Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia
merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan
pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya
dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di
sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam,
sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam
yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah,
dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta
menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu
dan menunggu.

Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun
sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak
percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.
Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit,
memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya,
mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun,
kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta
ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.

Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat
sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia
mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang
pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki,
Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah
orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit
bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi.
Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya
menceritakan segala sesuatunya.

Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan
para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada
jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila,
bahkan
dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya
berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia
bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama
lain, sungguh ia salah besar.

Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah
Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan
melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah
kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa
Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan
kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang
kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu
berkata, "Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal
yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan
Kekayaan”.

(page 2)
Re: Laila & Majnun (Novel Epos Nizhami)
Post by pecinta on Oct 24, 2007, 7:50am

Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa
memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup
banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia
dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun
menjawab, "Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya
kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan
terhormat," jawab ayah Laila. "Akan tetapi, engkau
tidak bisa menyalahkanku
kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu
perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang
pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun
hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak.
“Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak
perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah
engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?"

Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa
dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan
utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah
anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab?
Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan,
sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah
lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari
Majnun. "Aku tidak akan diam berpangku tangan dan
melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,"
pikirnya. "Aku harus melakukan sesuatu."

Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput
anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk
menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam
itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun
diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian
Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun
diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia
duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat
gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka
berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila.

Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan
milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti
Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila.
Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar
mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang pun yang
memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya
menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada
kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan
setiap orang di pesta itu lantaran berusaha
mengelabuinya.

Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya
dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam
kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga
akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan.
Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar
Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah
dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan
membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.

Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud
di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan?
"Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta,
Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon
kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah cintaku
sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap hidup." Ayahnya kemudian
tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk
anaknya.

Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau
lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke
pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia
tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah,
ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua
yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya.
Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar
tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat
dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang
pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan
bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun
sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan
bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk
di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar
dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya
panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan
kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak
beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada
seekor serigala tidur di kakinya. "Hus” katanya,
'Jangan bangunkan sahabatku." Kemudian, ia mengedarkan
pandangan ke arah kejauhan.

Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia
menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi.
Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun
tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang
berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di
seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak
kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan
binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya,
ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga
lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari
kehidupan liar dan buas itu.

Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena
secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan
mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas
seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan
kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan
Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada
Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan
olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan
melanjutkan perjalanannya.

(page 3)
Re: Laila & Majnun (Novel Epos Nizhami)
Post by pecinta on Oct 24, 2007, 7:55am

Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya
pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah
Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang
musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci
darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa
Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara
untuk menjemputnya.

Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan
oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi
dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya
terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. "Ya
Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku
dan mengembalikannya ke keluarga kami," jerit sang
ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan
segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan
bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis,
"Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang
kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau
pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan
meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku
mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta." Ayah dan
anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah
pertemuan terakhir mereka.

Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah
dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin
bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh
keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam
kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk
mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia
berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang
membakar dalam kalbunya. Untuk mengungkapkan segenap
perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah
syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas
kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di
taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas
kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang
menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas
kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara
demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin
hubungan.

Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri,
banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka
hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu
bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang.
Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah
dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.

Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi
hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan
tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta
dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah
seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria
gagah berani bernama 'Amar, yang berjumpa dengan
Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia
sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu
di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut
Majnun sendiri.

Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan
sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa
saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu,
meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang
menghalanginya! Kaetika Amr kembali ke kota
kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan
ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di
sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau
terluka.

Ketika pasukan 'Amr hampir memenangkan pertempuran,
ayah Laila mengirimkan pesan kepada 'Amr, “Jika engkau
atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan
putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan.
Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak
keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan
putriku pada orang gila itu”. Majnun mendengar
pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan
pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas
di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang
yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan
penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk
meringankan luka mereka.

Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta
penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh,
Majnun menjawab, "Orang-orang ini berasal dari desa
kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh
mereka?" Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun,
'Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang
dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya
membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya
untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa
mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.

Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri.
Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah
berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam
perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang
bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan
serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda
lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan
sedih hati karena pertempuran yang baru saja
menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah
Laila pun menyetujui perkawinan itu.

Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada
ayahnya, "Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan
orang itu." Akan tetapi, tangisan dan permohonannya
tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi
sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam
waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa
seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.

(page 4)
Re: Laila & Majnun (Novel Epos Nizhami)
Post by pecinta on Oct 24, 2007, 7:58am

Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia
tidak pernah bisa mencintainya. "Aku tidak akan pernah
menjadi seorang istri," katanya. "Karena itu, jangan
membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang
lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa
membuatmu bahagia." Sekalipun mendengar kata-kata
dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup
bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya
Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa
Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh
Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari.
Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati
dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang
mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang
yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih
dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung
lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan
ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi
apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu.
Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah
menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan
selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga
kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku
hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu,
janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau
telah memilih orang lain sebagai pendampingmu.
Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang,
meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan
memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah
anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional.
Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, "Dalam
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun.
Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu
menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan
cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya
di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu
yang ada di sekelilingmu”. “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap
jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku,
kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta,
engkau ataukah aku?.

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun
meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan
bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang
sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara
bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari,
ia memainkan serulingnya dan melantunkan
syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini
menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis
syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.
Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara
hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan
sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang
sanggup mengusik dan mengganggunya.

Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam
tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia
hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian
dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila
berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi
merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan
kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua
orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan
suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar
tentang dunia luar dengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir
Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun
dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat.
Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa
bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan
lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia
pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin
mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira
bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal
sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang
hilang dan sudah lama dirindukannya.

Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang,
acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis.
Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya
dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung
usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih
berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,
yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya.
Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila
justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan
dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak
tidur dengan baik selama bermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya
kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila
sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup
bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang
mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti
kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat,
ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa
berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya!
Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu
kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa
waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil
mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu
malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap
pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil
bergumam, Majnun…Majnun..Majnun.

(page 5)
Re: Laila & Majnun (Novel Epos Nizhami)
Post by pecinta on Oct 24, 2007, 8:01am

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala
penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian
Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu,
ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan
tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika
kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa
Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret
tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa
henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota. Ia
berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan
beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan
kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal
dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas
kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun
peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan
kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan
sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa
teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu
adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati
kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua
kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini
bersatu kembali.

Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi
melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt
membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan
mendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata
kepada Majnun, "Tidakkah engkau malu
memanggil-manggil-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau
meminum anggur Cinta-Ku?"

Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika
Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih
oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya,
lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang? Begitu
pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun
mengilhamkan jawaban kepadanya, "Kedudukan Laila jauh
lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia
Cinta dalam dirinya sendiri."

Wa min Allah at Tawfiq

Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of
Sufis )

Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana
Hakim Nizhami qs :

Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi
terkemuka diabad pertengahan karena dua roman cinta
yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau
& Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun
yang berarti “Tergila-gila akan Cinta”, karena
cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya
membuatnya gila. Kisah cinta ini dibaca selama
berabad-abad, ratusan tahun jauh sebelum Romeo &
Julietnya Wiliam Shakespeare sehingga Kisah Laila &
Majnun terkenal sebagai kisah cintanya Persia.

Syaikh Nizhami qs adalah seorang Syaikh Sufi, dan yang
dimaksud “kekasih” dalam berbagai kisahnya
sesungguhnya adalah perwujudan Allah swt. Syaikh
Nizhami hidup dari tahun 1155 M – 1223 M, beliau lahir
dikota Ganje di Azerbaijan. Ia telah menempuh jalan
sufi semenjak masa mudanya, dan ia diajar oleh Nabi
Khidir as, Sang Pembimbing Misterius dan ia dilindungi
99 Nama Allah Yang Maha Indah ( Asmaul Husna).

Syaikh Nizhami qs sangat menguasai berbagai macam
ilmu, seperti matematika, filsafat, Hukum Islam, dan
kedokteran. Banyak karyanya merupakan pelajaran
tersembunyi bagi pemeluk tariqah sufi dan penempuh
jalan spiritual. Karya Syaikh Nizhami qs terkenal
karena bahasanya yang halus. Karya Laila dan Majnun
sebenarnya berbentuk sajak berirama sebanyak 4500
syair sajak, yang d**enal dengan sebutan Matsnawi.
Sebagaimana lazimnya terjadi pada para Syaikh Sufi,
yang tertinggal dari Syaikh Nizhami qs adalah
ajaran-ajaran sufi yang sangat tinggi, yang
mengingatkan para penempuh jalan spiritual ihwal
kefanaan hidup didunia ini

sumber : internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar