Kamis, 04 Maret 2010

PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA

tanggal pembuatan 3/4/2010
PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA
Keberhasilan harta wakaf  untuk pembangunan tercatat dalam sejarah. Antara lain pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid. Puteri Zubaidah (istri Khalifah) pernah membangun jalan raya dari Baghdad di Irak sampai ke Mekkah. Jalan itu dibangun untuk memperlancar perjalanan jamaah yang akan menunaikan ibadah haji di Makkah. Dana pembangunan jalan raya tentunya tidaklah sedikit, mengingat jarak antara kedua kota relatif jauh. Seluruh biaya pembangunan berasal dari harta wakaf yang dikelola oleh Puteri.
Keberhasilan pengelolaan  wakaf juga terjadi di Singapura. Dengan penduduk muslim minoritas (lebih kurang 453.000 orang saja) berhasil membangun harta wakaf secara inovatif. Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) melalui WARESS Investment Pte Ltd telah berhasil mengurus dan membangun harta wakaf secara profesional. Keberhasilan itu antara lain membangun apartement 12 tingkat bernilai sekitar S$62.62 juta. WARESS juga berhasil membangun proyek perumahan mewah yang diberi nama The Chancery Residence, dan banyak lagi catatan aktivitas inovatif lainnya.   
Bagaimana di Indonesia?. Perkembangan wakaf di indonesia dapat diklasifikasikan kepada tiga fase, yaitu fase tradisional, semi-profesional dan profesional.  Fase tradisional harta wakaf diperuntukkan hanya untuk pembangunan fisik semata, seperti untuk pekuburan, mesjid, mushalla, dan madrasah. Pada fase ini ikrar wakaf umumnya hanya bersifat lisan tanpa ada bukti tertulis sama sekali. Akibatnya setelah diurus oleh beberapa generasi banyak harta wakaf yang hilang tanpa bekas.
Pada fase semi professional, pengelolaan wakaf tidak banyak berbeda dengan masa sebelumnya. Namun sudah mulai dikembangkan secara produktif walaupun belum maksimal. Pelaksanaan wakaf sudah mulai dilakukan secara tertulis yaitu melalui Akta Ikarar Wakaf (AIW) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Kegiatan wakaf, khususnya wakaf tanah sudah memiliki payung hukum setelah diakui adanya hak milik wakaf dalam perundangan mengenai pertanahan.
Sedangkan pada fase professional, wakaf sudah mulai   diurus dan dikembangkan secara  produktif. Bahkan wakaf dalam bentuk uang dan barang berharga lainnya pun sudah mulai diperkenalkan.
Perkembangan berikutnya pengelolaan wakaf di Indonesia mulai diperhatikan secara serius. Buktinya, pada tanggal 27 Oktober 2004 telah diudangkan Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 2004  tentang Wakaf. UU ini merupakan payung hukum perwakafan di Indonesia, dan sekaligus melegalisasi perkembangan ruang lingkup objek wakaf. Selama ini  wakaf difahami secara tradisional, dan cendrung makna wakaf terbatas pada benda tidak bergerak saja, seperti tanah dan bangunan. UU menegaskan pewakaf dapat juga mewakafkan sebahagian kekayaannya berupa harta bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud seperti uang, logam mulia, surat berharga, kenderaan, hak  kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya.
A.    Peranan Fiqih wakaf di Indonesia
Wakaf dilihat dari sudut fiqih mengalami perbincangan yang sangat menarik, meskipun terkadang objek perbincangannya lebih menitikberatkan pada unsur wakaf. Menariknya pula baik ulama klasik maupun modern tidak akan lepas dari kajian tersebut. Secara sistematis
1.      Pengertian Wakaf
Kata wakaf atau waqf (فقولا) berasal dari bahasa Arab yang berasal dari akar kata wa-qa-fa (فقو) berarti menahan, berhenti, diam di tempat atau berdiri. Kata waqafa-yaqifu-waqfan semakna dengan kata habasa-yahbisu-tahbisan
(فرصتلا نع سبلحا) maknanya terhalang untuk menggunakan. Kata waqf dalam bahasa Arab mengandung makna: (ليبستلا سيبحتلا ىنعبم فقولا), artinya: menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.
Dalam bahasa Arab, istilah wakaf kadang-kadang bermakna objek atau benda yang diwakafkan (al-mauquf bih) atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi seperti yang dipakai dalam perundang-undangan Mesir. Di Indonesia, term wakaf dapat bermakna objek yang diwakafkan atau institusi.
Menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa makna wakaf adalah menahan dzatnya benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya. Adapun perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam mendefinisikan wakaf diakibatkan cara penafsiran dalam memandang hakikat wakaf. Perbedaan pendangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Abu Hanifah
“Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap miliki si wakaf dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan.” Berdasarkan
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hal. 7599-7502; Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi (2004). Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan KMCP. (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika & IIMaN), hlm. 38.
definisi itu maka pemilikan harta wakaf  tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif  wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu madzhab Hanafiyah mendefinisikah “wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.
b. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf  itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebajikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).
c. Madzhab Syafi’iyah, Hanbaliyah dan sebagian Hanafiyah
Madzhab ini berpendapat bahwa wakaf adalah mendayagunakan harta untuk diambil manfaatnya dengan mempertahankan dzatnya benda tersebut dan memutus hak wakif untuk mendayagunakan harta tersebut. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan. Berubahnya status kepemilikan dari milik seseorang, kemudian diwakafkan menjadi milik Allah. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli waris. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (orang yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, di mana wakif tidak dapat melarang menyalurkan sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena itu madzhab ini mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)[1]
B.     Bentuk Wakaf di Indonesia
di indonesia, wakaf pada umumnya, berupa benda-benda konsumtif, bukan barang-barang produktif. ini dapat dilihat pada masjid, sekolah-sekolah, panti asuhan, dan sebagainya. Ini di sebabkan karna beberapa hal, diantaranya adalah : tanah telah  sempit di daerah-daerah lain, menurut hokum adat dahulu hak milik perorangan atas tanah dibatasi oleh hak masyarakat dan hokum adat, dan karna harta yang di wakafkan itu pada u umumnya adalah barang-barang konsumtif maka terjadi masalah pada biaya perawatannya untuk mengatasi kesulitan itu, perlu dicari sumber dana tetap melalui wakaf produktif.[2]
 Harta benda wakaf berupa barang tidak bergerak, meliputi :
  1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yantg belum terdaftar
  2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas sebagaimana dimaksud pada angka 1
  3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
  4. Hak atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
harta benda wakaf berupa benda bergerak, meliputi :
  1. Uang
  2. Logam mulia
  3. Surat berharga
  4. Kendaraan
  5. Hak atas kekayaan intelektual
  6. Hak sewa, dan
  7. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Khusus untuk wakaf uang tunai, Tabung Wakaf Indonesia akan melakukan kegiatan penghimpunan yang dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya baik langsung maupun tidak ke dalam kegiatan operasional lembaga keuangan / perbankan syariah dengan mengeluarkan produk bersama antara Tabung Wakaf Indonesia dan lembaga keuangan/ perbankan syariah tertentu dalam bentuk simpanan dana wakaf masyarakat pada lembaga/ perbankan syariah tersebut.
Misalnya : Produk Wakaf Investasi Reksa Dana Syariah Dompet Dhuafa BTS Syariah, Baitul Mal wa Tamwil, [3]


C.    Perwakafan Tanah Milik di Indonesia
PENGERTIAN: Perbuatan hukum memisahkan sebagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang berupa tanah hak milik dan melembagakan untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial bagi kepentingan ibadat atau keperluan umum sesuai ajaran agama Islam.
Ø  Fungsi Wakaf: untuk mengekalkan manfaat tanah yang diwakafkan sesuai dengan tujuan wakaf.
Ø  Status tanah Hak Milik yang diwakafkan menjadi hapus, namun tidak menjadi Tanah Negara, akan tetapi menjadi tanah dg status khusus sebagai TANAH WAKAF yang diatur oleh Hukum Agama Islam.
Ø  Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah dengan status Hak Milik (Pasal 49 UUPA, dan Pasal 4 PP 28/1977). Untuk tanah bukan Hak Milik berarti harus ditingkatkan dulu menjadi Hak Milik.
Ø  Wakaf dilakukan oleh Wakif dihadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf), yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama, dengan 2 orang saksi. Sekaligus ditunjuk Nadzir-nya.
Ø  Lalu Akta Ikrar Wakaf  wajib didaftarkan oleh PPAIW untuk atas nama Nadzir di Kantor BPN (PP 6/1977.[4]
Kalau tanah Wakaf sudah bersertifikat maka pendaftara dilakukan dengan membubuhkan catatan pada buku-tanah dan Sertifikat Hak Milik-nya, yaitu :
  1. Mencoret nama pemilik semula;
  2. Membubuhkan perkataan ”WAKAF”, di belakang nomor Hak Milik.
  3. Membubuhkan catt ttg perwakafan pada halaman 3;
  4. Mencantumkan Nama Nadzir pada halaman 3.
  5. Setelah selesai pendaftaran , Sertifikat Hak Milik diserahkan kepada Nadzir sebagai tanda bukti wakaf yang bersangkutan.
  6. Nadzir kemudian melaporkan perwakafan tsb kepada Departemen Agama

D.    Analisi terhadap uu no.41 thn 04 tentang wakaf
Pada sub ini lebih dikonsentrasi dengan menganalisis berbagai hal seputar wakaf berdasarkan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan terkadang mengambil dari aturan hukum nasional lain dengan porsi seperlunya saja seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Instruksi Presiden (Inpres). Beberapa peraturan yang menaungi wakaf dimunculkan karena sesuai dengan bunyi pasal 70 UU No. 41 tahun 2004, bahwa:

“Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang- undang ini”.
Pembahasan ini diawali dengan pengertian, tetapi perlu diingat bahwa pengertian atau definisi wakaf secara institusional pun beragam. Keragaman definisi ini sebagai akibat dari perbedaan penafsiran terhadap institusi wakaf sebagaimana yang dilakukan oleh para mujtahid dan yang pernah dipraktekkan, dan oleh masyarakat Islam. Dalam Peraturan Pemerintah disebutkan bahwa benda wakaf adalah tanah milik. Sedangkan dalam Intruksi presiden disebutkan bahwa benda wakaf adalah benda milik. Dalam Inpres menunjukkan bahwa benda yang dapat diwakafkan itu bukan saja hanya tanah milik, melainkan juga dapat berupa benda milik lainnya, yang menurut tafsir terhadap Inpres tersebut bisa benda tetap (tak bergerak) yang disebut al-‘aqr, atau benda bergerak yang disebut al-musya’. Dinamika sosial, desakan publik dan perubahan paradigma berpikir yang semakin meluas memandang wakaf ”memaksa” lahirnya UU No. 41 tentang wakaf sebagai payung hukum yang lebih kuat berskala nasional. UU tersebut mendefiniskan bahwa:
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.[5]
Definisi ini tergolong definisi yang cukup longgar dan mengakomodasi perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh dan mempertimbangkan pengembangan objek wakaf demi kemaslahatan umat. Beberapa catatan yang dapat dikemukakan adalah:
(1) fleksibilitas bentuk objek wakaf dalam Inpres sebenarnya sudah mengakomodir semua pandangan ahli fiqh, tetapi tertutupi oleh pandangan hierarkhi terhadap pandangan hukum di Indonesia, bahwa Peraturan Pemerintah (PP) lebih tinggi dari pada Intruksi Presiden (Inpress), sehingga dengan lahirnya UU tersebut fleksibilitas tersebut lebih kuat payung hukumnya.
(2) Kendala fanatisme madzhab yang kuat di akar rumput dalam meyakini objek wakaf adalah tanah (yang ia termasuk barang tak bergerak), sehingga implementasi belum berjalan mulus.
(3) Durasi waktu dimunculkan mengakomodasi madzhab Maliki yang menafsirkan adanya wakaf temporal.
(4) kata “keperluan umum” dirubah “kesejahteraan umum” mencerminkan sasaran final wakaf adalah masyarakat dapat menikmati wakaf sebagai salah satu media yang bisa mensejahterakannya.[6]
Mengenai benda wakaf, di Indonesia terjadi perluasan makna. Pada mulanya terbatas pada tanah yang termasuk kategori harta tak bergerak. Dalam UU No. 41 tahun 200431 membolehkan wakaf dengan harta bergerak maupun harta tak bergerak. Kategori yang dijelaskan dalam undang-undang tersebut antara lain:
(1) Benda Tidak bergerak, meliputi (a) hak atas tanah, (b) bangunan/ bagian bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, (c) tanaman/benda lain yang berkaitan dengan tanah, (d) hak milik atas satuan rumah susun, (e) benda tidak bergerak sesuai syariah dan UU.
(2) Benda bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak sesuai syariah dan UU, termasuk mushaf, buku, kitab. Dari segi akadnya, wakaf memang diakui sebagai akad sepihak dan termasuk akad tabarru’, yang tidak membutuhkan qabul dari nadzir. Tetapi terhadap akad tersebut harus disikapi secara hati-hati Nadzir harus dilihat profil, komitmen, reputasi, kredibilitas, kapabilitas dan terpopuler adalah track record (rekam jejak) sehingga akuntabilitas publiknya dapat dipertanggungjawabkan. Hal terpenting pula terkait dengan akad adalah dimungkinkan timbulnya sengketa yang memerlukan pembuktian untuk keabsahan sehingga dipersyaratkan adanya dokumen dan saksi. Keduanya bukan menjadi rukun tetapi alat bukti yang harus ada dan dapat menguatkan keberadaan adanya akad (penyerahan) wakaf.


[1] Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hal. 7599-7502; Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi (2004).

[2] Muhammad daud ali, system ekonomi islam zakat dan wakaf, UI-Press Jakarta 1988
[3] http://www.tabungwakaf.com/kegiatan.php
[4] http://digilib.uns.ac.id
[5] www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2004/41-04
[6] www.sururudin.wordpress.com

1 komentar: